Gelar Riset Kolaborasi, Tim UNP dan ISI Padang Panjang Temukan Kunci Sukses Masyarakat Adat Suku Kajang dalam pelestarian lingkungan
Padang - Tim Penelitian Universitas Negeri Padang (UNP) bersama tm riset Institut Seni Indonesia (ISI) Padang Panjang menggelar riset kolaborasi mengenai kunci keberhasilan Masyarakat Adat Kajang di Kabupaten Bulukumba, Sulawesi Selatan (Sulsel) dalam pelestarian lingkungan.
Penelitian yang diketuai Susi Fitria Dewi S.Sos.,M.Si. Ph.D, dari UNP dan Dr. Febri Yulika S.Ag M.Hum, ISI Padangpanjang itu dilaksanakan dari tanggal 5-12 Juli 2024.
Susi Fitria Dewi dalam keterangan tertulis yang diterima Humas UNP, Minggu (14/7/2024) mengungkapkan bahwa penelitian ini berhasil berhasil merumuskan strategi pelestarian lingkungan berbasis kearifan lokal suku Kajang yang dirumuskan melalui Focus Grup Discussion (FGD)dengan Pemerintah Daerah Kabupaten Bulukumba, budayawan, pegiat pariwisata dan Literasi, kemudian Yayasan Antropos serta akademisi dari Universitas Hasanuddin Makassar. Kegiatan FGD yang didampingi Lembaga Kajian dan Pengembangan SDM NU Bulukumba.
"Tim riset berhasil menemukan kunci keberhasilan Masyarakat Adat Kajang dalam menjaga hutan hujan. Masyarakat adat yang dinobatkan oleh Washington Post sebagai suku terbaik di dunia menjaga hutan, ternyata memiliki tiga kunci keberhasilan," terangnya.
Pertama, terang Susi, komitmen pemuka adat bersama Masyarakat adat memelihara hutan sebagaimana memelihara diri mereka sendiri. Ammatoa, sebutan pemimpin adat tertinggi menyatakan “Borong karrasayya (hutan larangan) merupakan paru-paru dunia, karena daunnya memproduksi embun, yang turun menjadi hujan, akar dan batangnya yang menyimpan air yang pada akhirnya mengaliri sungai yang menghidupi udang dan ikan”.
"Kedua, prinsip hidup kamase masea, yakni hidup sederhana. Mengambil secukupnya apa yang dibutuhkan, senantiasa melakukan perbuatan baik, membangun rumah cukup yang layak untuk sekeluarga, Menggunakan baju hitam dan tanpa alas kaki menjadi symbol kesederhanaan dan peghormatan terhadap alam," lanjutnya.
"Ketiga, Ammatoa menegakan hukum adat Ripasang dan menetapkan sangsi sesuai dengan kualitas pelanggaran. Bagi yang memasuki dan mengambil hasil hutan larangan untuk kepentingan pribadi atau tanpa seizin pemuka adat meskipun hanya sebatang rotan dikenakan sangsi terberat yakni Poko Ba’bala, denda sebesar 12 Real setara dengan Rp. 12 juta rupiah," tambahnya. (Susi/Utr/Humas UNP)