Berita

Kematian Seni Versus Kompromi dan Adaptasi dalam Dinamika Sosial Masyarakat

Rabu, 14 Juni 2023 Humas UNP - Siti Sarah 561

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Pertama-tama marilah kita bersama-sama bersyukur kehadirat Allah Subhanahuwa wata’ala, Tuhan Yang Maha Kuasa, yang memberikan kita berbagai kenikmatan, khususnya nikmat kesehatan, kesempatan dan kekuatan sehingga kita berada pada acara Panggung Ekspresi dan Orasi Kebudayaan di Pelataran Taman Budaya ini.

Sungguh suatu kehormatan bagi saya untuk bersama-sama teman-teman dan saudara seniman dalam forum yang terhormat ini, untuk saling berbagi pengalaman dan pengetahuan. Izinkan saya dengan sebisa saya menyampaikan orasi budaya yang dalam hal ini saya beri tajuk: “Kematian Seni Versus Kompromi dan Adaptasi dalam Dinamika Sosial Masyarakat”.

Hal ini saya sampaikan terkait dengan realitas keberadaan kesenian di tengah masyarakat budaya global, digitalisasi, disrupsi dan ataupun revolusi industri 4.0 ini.

Hadirin yang saya muliakan.

Kehadiran seni sering tidak sejalan dengan lajunya pola pikir dan kebiasaan gaya hidup dan pola sosial masyarakat yang bertindak sebagai pengguna dari produk kesenian itu sendiri. Banyaknya karya seni baik yang bersifat warisan budaya tradisi, karya seni individu yang bersifat temporer, dalam berbagai genre seni, senantiasa berbenturan dengan pengguna atau masyarakat pemakainya. Perbedaan ini menjadi suatu gab yang terkadang menimbulkan egosentris masing-masing kedua belah pihak di dalam memandang keinginan dan kepentingannya masing-masing.

Realitas seni secara fundamental malah terkadang memiliki gagasan yang melompati zamannya, terkadang juga tertinggal oleh era yang melingkupinya. Pada kedua hal ini terdapat gab antara stakeholder dengan seniman dan karya seninya, karena selalu tidak pernah memiliki titik temu, pada gilirannya masyarakat konsumen sebagai pemegang kekuasaan yang bertindak sebagai pemakai, tetap saja berada dalam posisi yang menentukan. Hal hasil, seni akan selalu berada dalam objek penderita bukan sebagai subjek. Karena ketermanfaatannya selalu ditentukan oleh penguasa (dalam tanda petik).

Hal yang menarik adalah seniman tetap saja memproduksi karyanya, dan seniman tradisi di pedesaan dan di berbagai belahan negeri, mencoba memposisikan kembali kesneiannya sebagai warisan budaya, dengan berbagai upaya seperti enkulturasi dengan internalisasi budaya pada masyarakatnya. Akan tetapi perlawanan pasti terjadi dengan munculnya dinamika masyatakat di pedesaan dan berbagai negeri, apalagi diperkotaan.

Banyaknya anggota masyarakat di berbagai pedesaan yang telah terkontaminasi dengan pikiran mordenitas yang tidak relevan lagi dengan berbagai nilai tradisi milik mereka dipedesaan, hal ini dampak dari keberadaan mereka di perkotaan dalam menimba ilmu pengetahuan, beum lagi intervensi teknologi informasi yang tan batas, dengan menembus sekat budaya dan ada serta norma dari suatu masyarakat.

Sementara di perkotaan seniman individu yang lebih berorientasi pada seni terpakai maupun seni yang berorientasi pada nilai dan gagasan seni itu sendiri secara filsafati. Juga telah berupaya memunculkan eksistensinya dengan berbagai pameran, pergelaran, exspo dan berbagai publikasi karyanya, namun tidak sedikit yang gagal di dalam menjaring stakeholder untuk memakai dan memanfaatkannya. Persoalan terletak pada titik temu penguasa dengan seniman dan karyanya, hal ini sering diakibatkan oleh egosentris masing-masing, meskipun ego seniman bermuara pada hasil produk karya dengan nilai karyanya. Sementara ego konsumen atau penguasa bermuara pada selera seninya dan gaya hidup serta pola ssosialnya. Pada gilirannya masyarakat sebagaia pengguna lebih mementingkan seleranya, dan sedikit yang mau memahami seniman sebagai bagian dari anggota masyarakat dengan karyanya. Hal ini mengakibatkan terjadinya kematian seni di dalam masyarakat yang selalu berubah.

Realitas lain adalah, seni membunuh seni itu sendiri. Banyak karya seni baru yang muncul sebagai pembawa kehancuran nilai seni dan eksistensi seni itu sendiri. Munculnya karya baru yang bersifat pop, dan lebih modern, menyebabkan logika dan selera seni masyarakat beralih pada hal-hal yang baru, meskipun ini bersifat temporer. Namun perlu dicatat bahwa seni yang mapan dan telah membudaya dalam masyarakat secara tidak langsung dibunuh oleh seni yang baru.

Merujuk pada hal ini, seniman sebagai anggota masyarakat  yang berubah dengan segala dinamikanya juga telah menjadi penjajah dan mematikan seni dari seniman lainya serta seni warisan budaya di pedesaan. Oleh sebab itu bukan saja masyarakat secara umum yang menjadi penentu kehancuran eksistensi suatu karya seni dan senimannya, tetapi munculnya seniman dengan karay terbaru dengan pemikiran terbaru juga telah menjadi penghalang bagi pertumbuhan seni dan seniman yang telah mapan sebelumnya.

Hauser memberikan istilah the end of art, istilah ini saya jabarkan dalam buku saya “Pengantar Sosiologi Seni”. Dalam hal ini kemunculan setiap seni yang baru telah mematikan eksistensi seni yang lama. Oleh demikian mesti ada solusi untuk terus bertahan secara sosiologis bagi seni yang mapam dan seni yang akan tumbuh dan seni yang sedang merajut kemesraan dengan stakeholder.

Memandang pada realitas dan fenomena di atas, pada kesempatan ini, saya menawarkan suatu pemikiran sebagai solusi kita berkesenian di dalam meniti hidup dan kehidupan ini, di dalam masyarakat yang dinamis, yang selalu berubah sesuai eranya. Dimana saya melihat perlunya suatu pemikiran kompromistis dan proses adaptasi dengan stakeholder dan sesama seniman. Hal ini perlu kita coba agar tidak terjadi kematian seni dan senimannya di dalam meniti karir dan kehidupannya bersama karay seninya.

Saya merujuk pada pepatah Minangkabau, “Lamak dek awak katuju dek urang”. di dalam konsep kompromi hal ini sangat kita butuhkan. Artinya seorang seniman mestilah menjalin hubungan baik dan bermitra dengan pengguna. Di suatu sisi kita perlu menerima pandangan orang lain demi terpakainya karya kita. Sisi lain masyarakat mari kita ajak juga untuk memahami karya kita dan diri kita sebagai seorang seniman. Di sinilah letak persoalan kompromistis tadi. Artinya lamak dek awak katuju dek urang merupakan bentuk kompromistis yang kita lakukan.

Selain itu, saya melihat dima bumi dipijak di situ langik dijunjuang. Konsep adaptasi ini penting sebab jika seorang seniman dan karyanya dapat beradaptasi dengan lingkungannya, hal hasil masyarakat lingkungannya sebagai pengguna akan beruoaya untuk menerima seni dan senimannya sebagai bagian dari pada dirinya.

Dima bumi dipijak di sinan langik dijunjuang bukan saja dipakai untuk masalah konteks migrasi, tetapi juga dapat digunakan dalam konteks adaptasi seni dan seniman dengan stakeholder. Artinya konsep penyesuaian diri. Seni perlu menyesuaikan dengan stakeholder sebagai pemakai, apalagi seniman dengan kecerdasannya saya rasa mampu membaca pikiran masyarakat dengan seleranya. Maka diperlukan  bagi seniman dan seni untuk saling menyesuaikan.

Persoalan hubungan sneiman dengan seniman di dalam hal ini perlu dibangun raso jo pareso, dan saketek samo dicacah dan banyak samo dilapah, sehingga terjadi solidaritas untuk menjadi semuanya maju ke depan, sehingga terhindar dari kematain seni yang berdamapak pada distabilitas peran dan eksistensi seni dan senimannya. Artinya perlu lagi kompromisti dan saling menyesuaiakan di antara seniman yang ada, untuk membangun dunia seni agar terus berkembang dan mampu melawan tantangan zaman.

Hadirin yang saya muliakan

Maka telah sampilah saya  pada penghujung tulisan saya dalam orasi budaya ini, dimana secara sosiologis saya memandang bahwa aspek kompromistis dan adap tasi menjadi hal yang dirasa penting untuk membantu keberlangsungan pertumbuhan karya seni dan eksistensinya di dalam masyarakat yang selalu dinamis. Seiring dengan itu, kompromitis bukan saja antara seniman dan karyanya dengan stakeholder tetapi juga di antara seniman itu sendiri, sehingga seniman akan menjadi sadanciang bak basi saciok bak ayam.

Akhir kata, saya sebagai yang dipercaya di dalam kegiatan  Panggung Ekspresi dan Orasi Budaya ini, untuk manyampaikan pikiran saya tentang realitas kebudayaan, sebagai manusia biasa tidak luput tentunya dari berbagai kelemahan. Dengan demikian, pada kesempatan ini izinkan saya menyampaikan maaf yang sebesar-besarnya atas ketidak sempurnaan ini, terima kasih saya sampaikan kepada panitia yang telah mempercayai saya berbicara dalam forum yang terhormmat ini.

Sekali lagi terima kasih untuk semua pihak, Wassalam Mualaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Air Tawar, 12 Juni 2023

Disampaikan pada Selasa, 13 Juni 2023 dalam Orasi Budaya Panggung Ekspresi di Taman Budaya Sumatra Barat. Berita dikutip dari beritaminang.com


Share:

Informasi

The more that you read, the more things you will know, the more that you learn, the more places you’ll go.”– Dr. Seuss
Author :
Humas UNP - Siti Sarah